Rabu, 01 Juli 2015

TIDAK PUNYA PERASAAN

Gejala hilangnya perasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara cenderung semakin meluas belakangan ini.
Para pejabat menuntut kenaikan gaji yang sudah tinggi agar dilipatgandakan, sementara rakyatnya setengah mati mencari uang buat hidup hari ini. Kita pun menyimak ada anak membunuh orangtuanya sendiri, atau sebaliknya orangtua membunuh anaknya sendiri. Gara-gara uang seharga sebungkus rokok, orang bisa berbunuh-bunuhan.
Sementara di belahan lain para koruptor yang tertangkap basah dengan bangga unjuk ketawa di depan kamera. Para anggota DPR minta jatah Rp 20 miliar setiap tahun, sementara pensiunan para guru besar hanya Rp 4 juta setiap bulan, setara dengan UMR yang dituntut para buruh.
Lewat laku
Tidak ada lagi kebenaran rasa. Tenggang rasa sudah lenyap. Orang hanya mau mengenal perasaannya sendiri, tetapi tidak peduli perasaan orang lain. Orang yang tidak peduli perasaan orang lain itulah yang disebut tidak punya perasaan lagi.
Yang berkembang sekarang ini adalah kebenaran dalih pikiran, bukan kebenaran pikiran yang sesungguhnya. Dalih pikiran itu senantiasa bersandar pada bunyi UU dan peraturan yang dibikin manusia sendiri, yang mungkin tanpa perasaan juga.
Bagaimana mereka dapat menghukum sekian tahun atas seorang nenek renta yang dituduh mencuri sekian batang kayu di hutan pemerintah? Putusan pengadilan ini menunjukkan tidak adanya perasaan dan pikiran sekaligus, kalau dibandingkan dengan putusan pengadilan koruptor kelas teri yang dijatuhi hukuman yang hampir mirip.
Benar atau tidak benar itu sama sekali bergantung pada penjelasan pikiran. "Manusia intelektual itu adalah makhluk yang suka penjelasan," begitu tulis novelis Saul Bellow dalam bukunya, Mr Sammler's Planet (1969). Meskipun novel atau karya sastra dan karya seni pada umumnya merupakan penjelasan perasaan (pengalaman), tetapi baru diakui kebenarannya kalau ada kritikus yang mampu menjelaskannya secara pikiran.
Sebaliknya, pada pertengahan abad XIX, pujangga Mangkunegara IV dalam karyanya, Wedhatama, menyebut bahwa ilmu itu terjadinya lewat laku, perbuatan. Memang yang dimaksud adalah "ngelmu" yang berarti pengetahuan mistik, pengetahuan rasa, bukan semata pengetahuan kebenaran pikiran.
Apa yang dimaksud dengan "perasaan" agak berbeda dengan yang kita maksud sekarang, yang hanya meliputi perasaan indrawi, perasaan interaktif sesama manusia atau dengan alam, dan perasaan terdalam di hati nurani. Rasa, dalam tradisi tua Indonesia, adalah kategori religius, perasaan yang amat mendalam akibat pengelaman kesatuan dengan Yang Maha Esa. Laku atau rasa ini tidak dapat dijelaskan dengan pikiran terbatas manusia.
Kandidat doktor Susilo Kusdiwanggo dalam risetnya di masyarakat adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, mendapat penjelasan dari salah seorang ketua adat setempat. Bahwa, untuk mengetahui Tuhan, orang harus menggarap tanah dengan benar, menanam padi dengan benar, sampai menuai padi, menyimpan, dan menumbuknya dengan benar (sesuai adat). Selama itu Anda lakukan, Anda akan mengenal Tuhan. Ilmu itu terjadinya lewat laku. Lewat penghayatan, lewat pengalaman, dan lewat perasaan.
Bagi nenek moyang bangsa Indonesia, menjumpai dan mengenal Yang Maha Esa itu dengan melakukan kerja mereka sehari- hari. Dengan bekerja itulah terjadi penghayatan rasa "mistik" dengan Tuhan. Setiap langkah kerja mereka sehari-hari sesungguhnya laku ibadah. Itulah sebabnya, nenek moyang Indonesia memiliki cara-cara tertentu untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan hidup sehari-hari mereka, memiliki alat-alat tertentu yang telah dipolakan, memiliki syarat jender tertentu, doa sebelum bekerja tertentu.
Tradisi budaya religius Indonesia menyadari bahwa setiap perubahan di dunia dan dalam hidup mereka, Tuhan senantiasa hadir merawat  prosesnya. Perubahan dari biji tumbuh menjadi benih padi adalah atas kehendak-Nya. Perubahan dari padi menjadi beras juga atas izin-Nya. Perubahan beras menjadi nasi atau tumpeng  juga sepengetahuan-Nya. Karena kesadaran yang demikian itu, nenek moyang kita merasakan ketakjuban akan mukjizat kuasa Tuhan setiap hari. Mereka bukan hanya peka rasa, tetapi juga tinggi rasa. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh ajaib luar biasa dalam mengawal setiap perubahan sekecil apa pun di alam semesta ini.
Kearifan yang ditinggalkan
Kebenaran itu adanya di tindakan, di penghayatan atas tindakan itu. Bukan dalam kata-kata, juga bukan dalam pikiran. Pikiran tidak mengubah apa pun, baik dirinya maupun dunia, kecuali telah diwujudkan dalam laku. Dalam hal ini, mistisisme tidak harus penjelasan filosofis yang pikiran belaka, tetapi dalam praksis yang amat pragmatis hidup sehari-hari.
Itulah makna perasaan itu, yang gejalanya mulai ditinggalkan dan dilupakan bangsa ini. Memang perasaan masih punya, hanya rasa yang berhubungan dengan kepentingan dirinya sendiri, sembari menolak perasaan orang lain. Kearifan lama di berbagai daerah budaya di Indonesia menyatakan bahwa aku tiada lain dari kamu, aku adalah kamu sebagai aku, keadaanku adalah keadaanmu dan keadaanmu adalah keadaanku, sudah lama hilang dari ingatan bangsa ini.
Pernyataan-pernyataan serupa itu juga terdapat dalam banyak kitab suci umat manusia, yang menunjukkan bahwa kearifan lokal Indonesia itu sebenarnya juga universal.
Lebih baik tidak punya pikiran daripada tidak punya perasaan. Tidak punya pikiran masih manusia, tidak punya perasaan bukan manusia lagi.

Jakob Sumardjo Budayawan, Kompas 2 Juli 2015

Jumat, 26 Juni 2015

Diam Kita Ikut Membunuhnya


Kita turut berduka ketika jenazah gadis kecil, Engeline, ditemukan setelah sebulan dinyatakan hilang. Ia dikubur dengan boneka di tangan, dekat kandang ayam di rumahnya.
Engeline ternyata tak hilang. Ia sengaja "dihilangkan" di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia berlindung. Beberapa tanda kekerasan ada pada jenazahnya.
Rasa kemanusiaan kita mendadak dibangunkan. Apa salah dan dosa gadis kecil itu sehingga diperlakukan demikian brutal?
Gadis kecil yang seharusnya tumbuh dan berkembang dalam keceriaan dan rasa cinta, justru hidup kesepian dan ketakutan.
Beberapa hari setelah hilangnya Engeline menyebar di media Mei lalu, terkuak berita bahwa Engeline sebenarnya sering mendapatkan perlakuan tidak layak dari orang-orang terdekatnya. Kesaksian masyarakat di sekitar membuhul ke kesimpulan, bahwa Engeline tidak diperlakukan dengan wajar. Namun, tak ada laporan bahwa masyarakat yang tahu itu kemudian bertindak.
Fenomena diam dan menjadi pengamat tidak hanya terjadi dalam kasus ini saja.Orang kebanyakan hanya menjadi pengamat justru saat ia seharusnya dapat melakukan sesuatu untuk menolong atau menyelamatkan nyawa orang lain. Manusia tampaknya hanya acuh dengan dirinya atau tak berani keluar dari diamnya meski terkait nyawa orang lain.
Fenomena diam
Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut bystander effect (Darley dan Latane, 1968). Istilah bystander mengacu kepada kejadian tragis yang menimpa Kitty Genovese. Genovese berusia 28 tahun diserang, diperkosa, dan ditikam hingga mati oleh sekelompok orang pada malam tahun 1965 di New York, Amerika Serikat. Ia berteriak-teriak meminta tolong, namun tak seorang pun keluar dari apartemen, sekalipun mereka mendengar teriakan Genovese.
Fenomena bystander effect jamak terjadi. Secara psikologis hal ini berlangsung karena beberapa sebab. Sebagian orang barangkali tidak mau terlibat konflik dengan pihak lain, karena sekali saja seseorang membantu si anak, seperti pada kasus Engeline, maka mereka akan dianggap penyerang oleh pihak keluarga. Belum lagi ketakutan jika terjadi kesalahan penilaian terlepas dari tanda-tanda tak wajar yang seharusnya sudah memicu kecurigaan.
Orang juga sering tak bertindak karena takut mengambil risiko. Mereka tak mau dianggap mencampuri urusan orang lain. Di Polandia, ada idiom terkenal, "not my circus, not my monkey". Itu bukan urusan saya.
Orang juga cenderung bersikap pasif karena berharap orang lain yang melakukan. Darley dan Latane (1968) menyebutnya sebagai difusi tanggung jawab. Sehingga, walau tahu bahwa bertindak adalah hal yang benar, namun mereka terjebak dalam sikap saling menunggu.Semakin banyak pengamat di sekitar,semakin besar peluang setiap orang untuk diam-diam melempar tanggung jawab kepada pihak lain.
Hal-hal tersebut sering membuat orang menghadapi pilihan dilematis: melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan anak atau hanya menjadi pengamat bisu, sungguhpun mereka mengetahui bahwa ada yang salah.
Tidak ada yang berpikir bahwa semua orang dapat menjadi inisiator tanpa harus menunggu orang lain bila sesuatu yang tak wajar terjadi.
Sedikit yang bertindak
Survei Safe Horizon (2008), lembaga di AS yang melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa 78 persen orang mempunyai cukup alasan untuk melaporkan kekerasan terhadap anak, namun hanya 19 persen dari mereka yang menghubungi layanan perlindungan anak, dan 6 persen yang memberitahu polisi.
Pencegahan kasus kekerasan domestik dalam keluarga adalah tanggung jawab semua orang, namun pada kenyataannya hanya sebagian kecil yang berani bertindak nyata dan keluar dari sekadar pengamat bisu.
Sebenarnya, tanpa disadari masyarakat sudah mampu mengenali gejala ketidakwajaran anak yang mengalami abuse, seperti anak terlihat lusuh, kurus, kurang gizi, penyendiri. Masyarakat juga sering melihat langsung anak yang dibentak dan dipukul, namun kenyataannya tak banyak dari kita yang berani berinisiatif bertindak, bahkan untuk sekadar mencari tahu apakah yang sesungguhnya terjadi. Sadar atau tidak, kita telah terlibat dalam aksi pembiaran kekerasan di sekitar kita.
Siapa pun kita, punya peran penting untuk bisa menghentikan kekerasan domestik di lingkungan sekitar. Jangan hanya menjadi bystander, yang hanya menjadi bagian difusi tanggung jawab dengan melempar insiatif bertindak kepada orang lain.
Kasus Engeline terjadi karena semua orang diam. Kebisuan kita secara tak langsung ikut berperan terhadap kepergiannya.
Jangan lagi ada tragedi ini. Mari bersama berjanji bahwa kita tidak akan pernah lagi diam dan membiarkan kekerasan terjadi di sekitar kita.
Rahkman Ardi
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kandidat Ph.D di Universitas Warsawa
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juni 2015"

Rabu, 04 Februari 2015

Warren Buffet  

There was a one-hour interview on CNBC with Warren Buffet, the second richest man who has donated $31 billion to charity. Here are some very interesting aspects of his life: 
He bought his first share at age 11 and he now regrets that he started too late!
He bought a small farm at age 14 with savings from delivering newspapers.
He still lives in the same small 3-bedroom house in mid-town Omaha, that he bought after he got married 50 years ago. He says that he has everything he needs in that house. His house does not have a wall or a fence.
He drives his own car everywhere and does not have a driver or security people around him.
He never travel by private jet, although he owns the world's largest private jet company.
His company, Berkshire Hathaway, owns 63 companies. He writes only one letter each year to the CEOs of these companies, giving them goals for the year. He never holds meetings or calls them on a regular basis. He has given his CEO's only two rules:
Rule number 1: do not lose any of your shareholder's money.
Rule number 2: do not forget rule number 1.
He does not socialize with the high society crowd. His past time after he gets home is to make himself some pop corn and watch television.
Bill Gates, the world's richest man met him for the first time only 5 years ago. Bill Gates did not think he had anything in common with Warren Buffet. So he had scheduled his meeting only for half hour. But when Gates met him, the meeting lasted for ten hours and Bill Gates became a devotee of Warren Buffet.
Warren Buffet does not carry a cell phone, nor has a computer on his desk.
His advice to young people: "Stay away from credit cards and invest in yourself and remember:
Money doesn't create man but it is the man who created money.
Live your life as simple as you are.
Don't do what others say, just listen to them, but do what you feel good.
Don't go on brand name; just wear those things in which you feel comfortable.
Don't waste your money on unnecessary things; just spend on them who really in need rather.
After all it's your life then why give chance to others to rule our life."

by : Peter Gontha

Sabtu, 11 Mei 2013

Gita Wirjawan: Kalau Mau Cepat Kaya Jadilah Pengusaha Daging!

Jakarta (detik.com) Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan mengajak ibu-ibu pengusaha yang tergabung dalam Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) untuk menjadi pengusaha daging. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar Gita untuk mengungkapkan hal itu, salah satunya adalah agar cepat kaya.

"Kalau ibu-ibu ingin cepat kaya, maka jadilah pengusaha daging," ungkap Gita saat menghadiri acara Rakornas Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) di Gedung Smesco, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Sabtu (11/5/2013)

Alasannya, menurut Gita kebutuhan daging rata-rata masyarakat Indonesia saat ini adalah 2,2 Kg per orang per tahun. Sementara, Argentina butuh 55 kg per orang per tahun, Brazil 33 kg dan Jerman 30 kg per orang per tahun.

"Ini adalah best opportunity bagi pengusaha," tegasnya.

Untuk 20 tahun mendatang, ia memperkirakan kebutuhan per kapita konsumsi daging masyarakat Indonesia akan mencapai 20 kg per orang per tahun. Dalam kalkulasinya dengan total populasi Indonesia, maka ada nilai Rp 350 triliun omzet bisnis dari dagin yang akan diperebutkan.

"Sudah mulai banyak yang berdiskusi, menarik ini saya lanjutkan untuk bahas bisnis daging, karena sangat menguntungkan," kata Gita saat memperhatikan ibu-ibu pengusaha yang mulai saling berbicara.

Gita Wirjawan menuturkan Australia sangat bagus dalam mengelola peternakan sapi hingga bisnis dagingnya. Namun untuk Indonesia, Gita tidak menganjurkan cara yang dilakukan oleh Negeri Kangguru tersebut.

"Kalau untuk berbisnis ataupun menjadi pengusaha daging sapi, tidak usah seperti Australia," ungkap Gita.

Pasalnya dibanding dengan Indonesia ada perbedaan yang cukup mencolok, terutama soal lahan. Untuk 1 ekor sapi, Australia menyiapkan 1 hektar lahan. "Untuk 1 sapi mereka memerlukan 1 hektar," sebut Gita

Menurut Gita, hal itu merupakan pemborosan. Apalagi dengan situasi lahan di Indonesia yang sulit. Kecuali pengusaha berniat beternak sapi pada wilayah timur. "Kalau bagian timur mungkin bisa. Tapi ada cara yang lebih praktis, tidak usaha seperti itu," ujarnya.

Pengusaha Indonesia, menurutnya bisa mencontoh apa yang dilakukan India. Dimana beternak sapi dilakukan di belakang rumah masing-masing. "Seperti India tiap rumah tangga di belakangnya mereka memelihara sapi, itu bisa dipraktekan di Indonesia," jelas Gita.

Hanya menurutnya, pemerintah akan mendorong untuk memberikan sertifikasi pada setiap sapi. Agar sapi yang dipelihara sesuai standarisasi. "Tinggal sertifikasi sapi saja dan saya akan dorong itu," katanya.                                                            

*Saya setuju Pak Menteri  !!!!!                                                       
 

Senin, 22 April 2013

UN Kacau Balau


Dua minggu terakhir,  merupakan moment dimana akal sehat kita tercabik cabik dengan berita mengenai ujian nasional.  Pekan lalu, public dicengangkan dengan informasi mengenai pengunduran jadwal ujian nasional untuk tingkat SMA dan sederajat.  Penyebabnya ? sungguh membuat  kita geram tak habis pikir. Distribusi soal ujian bermasalah karena percetakan belum selesai mencetak seluruh soal !  Ini merupakan sejarah kelam dalam dunia pendidikan kita. Karena sejak dimulai perhelatan yang namanya Ujian Nasional     tahun 2005,( sebelumnya UAN, EBTANAS DLL) baru kali ini ujian diundur.
Di televisi selama berhari hari kita melihat bagaimana para pejabat sibuk berkomentar mengenai carut marut persoalan ujian nasional.   Mendikbud terlihat sibuk berkunjung ke sana kemari, untuk mengecek persoalan yang terjadi. Pak menteri bahkan harus datang ke  percetakan milik PT Ghalia Indonesia Printing  di  kawasan Bogor,  Jawa Barat, untuk mengetahui kenapa soal ujian terlambat diselesaikan.  
Presiden SBY juga sibuk menulis di akun twitternya yang baru di rilis beberapa minggu sebelumnya.  Presiden memberi instruksi kepada mendikbud untuk menyelesaikan permasalah UN dengan sebaik baiknya.  Presiden bahkan harus menulis 10 komentar  di akunnya, dan kemudian memanggil mendikbud.  “ Pemerintah meminta maaf atas keterlambatan UN ini. Terimakasih kepada yang ikut membantu dan mengatasinya, serta masukan  melalui akun ini*SBY*” ini salah satu kicauan presiden di akunnya.
Ada persoalan management yang akut di kemendikbud, kenapa soal ujian sampai terlambat dicetak. Pertanyaan paling mendasar, apakah tidak ada proses check and balances, dalam menyelenggarakan perhelatan rutin yang namanya UN ? keterlambatan percetakan  tentu bisa  diantisipasi jauh jauh hari sebelumnya, jika semua prosedur  menajemen di jalankan dengan baik.   Saya sangat yakin para pejabat di kemdikbud tidak bekerja optimal, bahkan mungkin meremehkan pekerjaan mereka. Buktinya Menteri M. Nuh kepada media mengaku   baru tahu persoalan percetakan dua hari sebelum ujian digelar.
Kedua, saya mendengar berkali kali, Menteri M. Nuh mengatakan dalam berbagai kesempatan, siap bertanggung  jawab atas tragedi ini. Namun dari wajahnya seperti tidak nampak ada penyesalan yang mendalam. Dalam teori komunikasi, gesture atau gerak tubuh, termasuk ekspresi wajah,  merupakan suatu signal kejujuran. Orang boleh mengucapkan apa saja, namun wajah lebih berbicara tentang yang sebenarnya.  Saat menggelar konferensi pers di Istana Negara usai dipanggil persiden,  M Nuh bahkan mengeluarkan komentar yang tidak pantas. “ Saya pikir tadi saya mau dimarahi sama presiden, namun ternyata tidak” kata Nuh.  Dalam hati saya, ini menteri kok ngomongnya ga ada beda dengan pejabat  lain yg gak bisa berempati kepada public.  Pak menteri…. Presiden gak marah mungkin karena terlalu baik, atau takut konflik….. tapi jangan lupa ……Rakyat Marah Besar !!!!!! anda bekerja tidak professional.  At the end, Pak Nuh juga tidak pernah ngomong apa bentuk pertanggungjawabannya. Meski banyak pihak meminta  M. Nuh mundur!!!
Saya jadi berpikir, seandaianya ini terjadi di  Jepang atau Korea Selatan, pastilah menterinya  tanpa disuruh akan mundur gentlemen sebagai bentuk tanggung jawab.
So….bagaimana bangsa ini akan beranjak dewasa jika para pejabat tingginya, tak member keteladanan, bekerja profesional, bertanggung jawab  dan benar benar bekerja untuk rakyat.  Atau jangan jangan SBY salah mengangkat Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA sebagai mendikbud !!!!!

Kamis, 08 November 2012

Obama, Yes You Can !!

 
Rabu (7/11) siang waktu Jakarta, atau dinihari waktu Amerika, ratusan juta pasang mata di seluruh dunia tertuju ke area McCormick Place, Chicago. Barack Obama, yang baru saja dipastikan memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat untuk yang kedua kalinya, tengah memberikan pidato kemenangan yang membius dunia. Dengan suara yang lantang penuh wibawa, Obama   mengucapkan terimkasih atas dukungan seluruh rakyat Amerika, terutama para pendukung setianya. Dalam pidatonya Obama bukan hanya berusaha menyatukan warga Amerika yang terpecah karena pilihan politiknya, namun juga berusaha membangkitkan semangat rakyat untuk bersama sama bersatu membangun Amerika. "Kita satu bangsa besar Amerika. Kita jatuh-bangun bersama sebagai sebuah bangsa,... Kata Obama.

Di McCormick Place yang sempit, Ribuan pendukungnya, menyambut dengan gegap gempita. Mereka bertepuk, berteriak dan melambaikan tangan melampiaskan kemenangan. Suasana semakin mengharukan saat Obama membawa serta istri tercintanya Michelle dan dua anak gadisnya, Sasha dan Malia ke atas panggung. Pada akhir sesi pidato, seluruh keluarga besarnya dan keluarga Joe Bidden, sang Wakil Presiden ikut bersuka cita bersama.

Sejak kemunculannya, sosok Obama memang menjadi sebuah fenomena. Tahun 2008, seluruh dunia terpana dan seakan tidak percaya. Seorang berdarah hitam, yang selama ratusan tahun terpinggirkan, tiba tiba bisa menjadi Presiden di negara adi kuasa itu. Sejak George Washington dikukuhkan sebagai presiden pertama pada tahun 1789, warga kulit hitam dianggap sebagai warga negara kelas dua. Mereka teraniaya di negerinya sendiri. Perlawanan atas nama perjuangan  kulit hitam terus mewarnai kehidupan negara yang ditemukan oleh Christoper Columbus itu. Sejarah mencatat perjuangan dan kegigihan Louis Farrakhan, Marthin Luther King hingga Angela Tucker, yang rela berkorban harta hingga nyawa demi sebuah pengakuan kesamaan derajat di mata kulit putih. Obama adalah buah perjuangan mereka.

Di sisi lain, Obama seorang pekerja keras. Ia berusaha membangun kehidupan melampaui mimpinya. Lahir dari keluarga yang bercerai berai, namun berusaha membangun sebuah keluarga yang damai. Pernah tinggal di Indonesia dan menjalankan sholat di masjid dekat rumahnya di Menteng Jakarta Pusat. Kemudian menjadi pengikut setia Kristiani saat dewasa, dan ia sangat menyayangi dan mencintai keluarganya.  Pada sebuah kesempatan, Obama  pernah bercerita   kepada media, bahwa ia selalu berusaha keras menahan air mata, saat menyaksikan  Michelle berpidato saat kampanye, demi kemenangannya. Obama sangat menghormati sekaligus mencintai istrinya itu. 

Obama juga seorang lelaki berhati baja.  Ia tak patah arang menerjang tantangan. Dalam buku otobiografinya, The Audacity of Hope, Obama pernah berkisah bagaimana hancur harapannya ketika pertama kali mengutarakan niatnya untuk maju menjadi kandidat presiden kepada seorang temannya yang seorang ahli politik. “Apakah kamu tak sadar, nama kamu Barack Hussein Obama, sebuah nama yang berbau muslim, dan rakyat Amerika tengah memusuhinya “. Tapi Obama kemudian bangkit dan terus berusaha menapaki dunia politik dengan penuh keyakinan. Kini ia menjadi seorang pemimpin besar, yang berani mengambil keputusan besar. Obama memutuskan memulangkan ratusan ribu prajuritnya di negeri Saddam, mengurangi pasukan di Afghanistan dan membongkar kebobrokan penjara Guantanamo yang biadab itu. Islam yang selama bertahun tahun seolah-olah di musuhi Amerika, kemudian  dirangkul dan diajak membangun tatanan dunia baru.

Saya bermimpi, kelak setelah tak lagi menjadi presiden di negeri adi kuasa itu, Obama bersedia pulang ke kampung halaman Ayah tirinya, INDONESIA. Andai saja ia bisa menjadi pemimpin di Negeri yang sedang belajar berdemokrasi ini. Negeri kita butuh tokoh besar bernyali besar, agar bisa menjadi bangsa yang besar.



Minggu, 28 Oktober 2012

Belajar dari Yati

Mendengar kisah Mak Yati ( 64 ),  rasanya kita seperti membuka kembali buku suci, yang sudah lama tersimpan  dan terlupakan. Kita juga seperti disuruh bercermin di depan kaca  sambil  bertanya,  masihkan kita punya hati yang mulia seperti dia?  Di tengah kerasnya kehidupan di Ibukota, di mana orang mendewakan harta dan kekuasaan, di saat orang gigih memburu surga dunia dengan segala cara, Mak Yati  mengingatkan kembali kepada kita, bahwa harta bukanlah segala-galanya.   Betapa tidak ?

Selasa ( 23/10) malam lalu, pengurus   Masjid Al-Ijtihaad, Tebet Mas, Jakarta Selatan dibuat terperangah, saat wanita tua yang selama ini dikenal sebagai pemulung itu, datang dengan menumpang bajaj, membawa dua ekor kambing untuk berqurban. "Sudah lama Mak pengen kurban. Sejak tiga tahun yang lalu. Tapi kan mak ini kerjaannya cuma mulung, jadi penghasilan nggak jelas. Buat makan sehari saja kadang udah sukur. Jadi Mak ngumpulin dulu duit Rp 1.000, Rp 1.500 sampai tiga tahun, lalu Mak beliin kambing dua ekor”   kata Mak Yati ketika ditanya wartawan apa alasan berkurban di hari raya Idul Adha. 

Wanita asal Pasuruan Jawa Timur itu kemudian bercerita, selama tiga tahun ia menabung setiap hari tanpa sepengetahuan suaminya.  Uang yang terkumpul kemudian dibelikan emas. Menjelang datangnya hari raya Qurban, Yati menjual emasnya senilai 3,8 juta. Kemudian  pemulung yang tinggal di gubug di atas lahan milik dinas sosial di Jalan Tebet Barat Raya  itu,  membeli dua ekor kambing seharga 3 juta rupiah.

Kisah ini sangat menyentuh hati. Kita banyak belajar dari Mak Yati.  Di saat orang mulai melupakan kebaikan,  ketika manusia makin sulit memahami makna keikhlasan, dan mengukur segalanya dengan uang, wanita tua itu justru mengajarkan ketulusan.   Banyak  orang yang bergelimang harta, namun sedikit yang berhati mulia.  Ketika orang lebih banyak memilih lorong yang gelap untuk meraih dunia, dengan keserakahan, ketamakan, dan keangkaramurkaan, namun Mak Yati  justru menunjukkan jalan yang terang di dalam kegelapan.  Mak Yati seperti tak lagi menuruti nafsu duniawi. Ia hanya punya mimpi yang sederhana, namun amat besar maknanya. Mak Yati ingin naik domba  menuju nirwana, kelak di alam baka.